Sabtu, 23 Oktober 2010

Boru Saroding Pandiangan

asal usul tuak

Legenda Tuak, Cerita Rakyat Sumut



Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara.
Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi.
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia.
Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak(nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya?
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Biografi Pdt. I.L. Nommensen

Add caption
Sosok anak manusia yang memiliki keberanian, kesungguhan, ketulusan dan jiwa petualangan, ada pada diri Ingwer Ludwig Nommensen. Di besarkan di bawah budaya barat, Nommensen berani menetapkan pilihan untuk mendatangi dunia lain yang sama sekali berbeda, jauh dan penuh misteri — Tanah Batak –
Berbekal sebagai seorang theolog muda, menerima tantangan untuk mendedikasikan ilmu, iman dan pengabdiannya bagi Bangso Batak, yang hanya diketahui dari buku literatur yang terbatas dan dengar-dengaran dari sumber-sumber yang belum tentu teruji kemampuannya dalam menggambarkan sifat, sikap dan alam Batak, nun jauh di timur.
Tentu melihat ini kita diminta untuk memutar roda waktu ke tahun 1861, dengan segala keterbatasannya, tanpa kecanggihan transportasi dan alat komunikasi. Terbukti, untuk tiba di tempat yang akan ditujunya menghabiskan waktu 142 hari, yang saat ini dapat kita tempuh hanya 11 jam kurang lebih.
Perbedaan budaya, bahasa dan agama tidak menyurutkan niatnya untuk memulai “pengabdian” di tengah perlawanan dan ancaman Bangsa Batak yang belum terbiasa menerima kehadiran “orang aneh”, yang berlainan bahasa, pola hidup, warna kulit dan mata serta rambutnya.
Kesungguhan dan keteguhan Nommensen, terbukti mampu memenangkan penolakan besar Bangsa Batak yang berbuah pada dimulainya era baru bagi kehidupan sosial dan spritual, hingga berimplikasi luas pada tatanan mayoritas Batak. Pendekatan sosial religius, tidak terpungkiri mewarnai kehidupan sebagian besar di antara kita saat ini.
Nommensen, sang Peretas!
Tidak sekedar untuk dikenang, nostalgia masa lalu, tentu ada pelajaran besar dari penggalan perjalanan hidup Nommensen. Untuk kita pelajari dan ketahui.
Tahun 1834, tanggal 6 Februari
Ingwer Ludwig Nommensen lahir di Nortdstrand, pulau kecil di panatai perbatasan Denmark dan Jerman. Dia anak pertama dan lelaki satu-satunya dari empat orang bersaudara. Ayahnya Peter dan ibunya Anna adalah keluarga yang sangat miskin di desanya. Sejak kecil, dia sudah tertarik dengan cerita gurunya Callisen tentang misionar yang berjuang untuk membebaskan keterbelakangan, perbudakan pada anak-anak miskin.

Tahun 1846 pada umur 12 tahun
kedua kakinya sakit parah karena kecelakaan kereta kuda pulang dari sekolah. Selama setahun lebih tidak dapat berjalan, kakinya hampir diamputasi. Dia berjanji kepada Tuhan bahwa akan menjadi misionar apabila kedua kakinya sembuh kembali. Dia akan pergi jauh untuk membebaskan anak-anak miskin yang budak karena hutang orang tuanya, dia akan memberitakan Firman Tuhan kepada pelbegu yang sangat terbelakang sebagaimana sering diceritakan gurunya Callisen yang sangat dikaguminya.

Tahun 1847
Kedua kakinya sembuh secara ajaib, dia dapat berjalan seperti sediakala. Dia kembali ke sekolah pada musin winter (musim dingin) karena pada musin summer dia akan menjadi gembala domba untuk menerima upahan karena orangtuanya sangat miskin.
Tahun 1848, tanggal 2 Mei
Ayahnya Peter Nommensen meninggal dunia. Ingwer Ludwig Nommensen sebelumnya bermimpi akan kehilangan ayahnya, maka ia tidak terkejut ketika orang membawa ayahnya ke rumah yang meninggal di tempat kerjanya.
Tahun 1849
Pada umur 15 tahun (suatu pengecualian), dia mendapat sidi. Biasanya, orang akan diijinkan mendapat sidi pada umur 17 tahun. Namun, karena Ingwer Ludwig Nommensen sudah tidak obahnya seperti ayah dari dari segi tanggung jawab kepada keluarga maka diberi pengecualian kepadanya. Dia mendapat sidi setelah setahun belajar Alkitab.
Tahun 1854
Ibu Ingwer Ludwig Nommensen merestui anaknya, satu-satunya lelaki di antara empat orang bersaudara, menjadi seorang misionar.
Tahun 1857
Ingwer Ludwig Nommensen masuk sekolah pendeta di RMG Barmen setelah menunggu sekian lama.
Tahun 1858, Januari Ibunya meninggal dunia di Nordstrand.
Tahun 1859
4 orang Misionar RMG Barmen serta 3 orang isteri misionar terbunuh di Borneo, berita itu semakin menggugah hati Ingwer Ludwig Nommensen untuk pergi ke daerah pelbegu.
Tahun 1861, 7 Oktober
berdiri HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Praosorat Sipirok, sebagai permulaan Misi Kongsi Barmen di Tanah Batak. Hari itu terjadi kesepakatan 4 orang Misionar Belanda dan Jerman yaitu:
H (Heine)K (Klammer)B (Betz) danP (Van Asselt) menjadi penginjil atas tanggung jawab Rheinische Missionsgeselshaft dari Barmen, Wupertal, Jerman, yang lazim diebut Kongsi Barmen.
Tahun 1861, Oktober
Ingwer Ludwig Nommensen ditahbiskan sebagai pendeta dan langsung diberangkatkan oleh Missi Barmen menjadi misionar ke Tanah Batak, tetapi selama 2 bulan dia masih belajar Bahasa Batak dan Budaya Batak dari Dr. Van Der Tuuk di Belanda.
Tahun 1861, Desember
Ingwer Ludwig Nommensen berangkat dari Amsterdam menuju Sumatera dengan kapal Pertinar. Pelayaran itu memakan waktu selama 142 hari.
Tahun 1862, 14 Mei
Setelah mengalami banyak cobaan di lautan, Ingwer Ludwig Nommensen mendarat di Padang. Selanjutnya dia tinggal di Barus. (Kapal Pertinar kemudian tenggelam dalam lanjutan pelayaran kea rah timur di sekitar Laut Banda dekat Irian Barat).
Tahun 1862, November
Bersama beberapa orang Batak, mengadakan perjalanan ke pedalaman Sumatera melalui Barus dan Tukka. Dari Barus, Ingwer Ludwig Nommensen pergi ke Prausorat dan kemudian tinggal dengan Van Asselt di Sarulla.
Tahun 1863, November
Ingwer Ludwig Nommensen pertama kali mengunjungi Lembah Silindung. Dia berdoa di Bukit Siatas Barita, di sekitar Salib Kasih yang sekarang. “Tuhan, hidup atau mati saya akan bersama bangsa ini untuk memberitakan FirmanMu dan KerajaanMu, Amin!”
Tahun 1864, Mei
Ingwer Ludwig Nommensen diijinkan memulai misinya ke Silindung, sebuah lembah yang indah dan banyak penduduknya.
Tahun 1864, Juli
Ingwer Ludwig Nommensen membangun rumahnya yang sangat sederhana di Saitnihuta setelah mengalami perjuangan yang sangat berat.
Tahun 1864, 30 Juli
Ingwer Ludwig Nommensen menjumpai Raja Panggalamei ke Pintubosi, Lobupining. Raja Panggalamei beserta rombongannya 80 orang membunuh Pendeta Hendry Lyman dan Samuel Munson (missionar yang diutus oleh Zending Gereja Baptis dari Amerika) di sisangkak, Lobupining pada tahun 1834, bertepatan dengan tahun lahirnya Ingwer Ludwig Nommensen di Eropa.
Tahun 1864 , 25 September
Ingwer Ludwig Nommensen mau dipersembahkan ke Sombaon Siatas Barita dionan Sitahuru. Ribuan orang datang. Ingwer Ludwig Nommensen akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Ingwer Ludwig Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas. Ingwer Ludwig Nommensen pantas dijuluki “Apostel di Tanah Batak”
Tahun 1865, 27 Agustus
Pembaptisan pertama di Silindung terhadap empat pasang suami-istri beserta 5 orang anak-anaknya. Diantara keluarga yang dibaptis pertama adalah Si Jamalayu yang diberi nama Johannes dengan istrinya yang dibawa dari Sipirok sebagai pembantu Ingwer Ludwig Nommensen diberi nama Katharina.
Tahun 1866, 16 Maret
Ingwer Ludwig Nommensen diberkati menjadi suami-isteri dengan tunangannya Karoline di Sibolga. Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pdt. Johansen yang dikirim Kongsi Barmen untuk membantu Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.
Tahun 1871
Ingwer Ludwig Nommensen mengalami penyakit disentri yang sangat parah, dia pasrah untuk pergi menghadap Tuhannya tetapi dia tidak rela misinya berhenti begitu saja. Dia dibawa Johansen berobat ke Sidimpuan.
Tahun 1864
Karoline melahirkan anak pertama diberi nama Benoni, namun beberapa hari kemudian meninggal dunia.
Tahun 1872
Pargodungan Saitnihuta yang disebut Huta Dame pindah ke Pearaja. Setelah Gereja baru hampir selesai dibangun, putri pertama Ingwer Ludwig Nommensen yang bernama Anna meningal dunia. Keluarga Ingwer Ludwig Nommensen telah kehilangan dua anak pertama, sungguh suatu ujian berat bagi misionar dalam memulai misinya.
Tahun 1873
Sikola Mardalan-dalan (Sekolah dengan tempat tidak tetap) diciptakan Ingwer Ludwig Nommensen agar Orang Batak bisa secepatnya menjadi guru. Siswa mendatangi Ingwer Ludwig Nommensen di Pearaja, Johansen di Pansurnapitu dan Mohri di Sipoholon dimana para misionar tersebut bertugas. Atau, misionar mendatangi siswanya ditempat tertentu.
Tahun 1875
Misionar Ingwer Ludwig Nommensen, bersama Johansen dan Simoneit bekunjung ke Toba.
Tahun 1876Telah dibaptis lebih dari 7000 orang di Silindung.
Tahun 1876
Ingwer Ludwig Nommensen selesai menterjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba.
Tahun 1877
Ingwer Ludwig Nommensen dan Johansen mendirikan Sekolah Guru Zending di Pansurnapitu. Tempat berdirinya sekolah tersebut adalah tempat yang dulunya dikenal sebagai Pasombaonan (tempat angker), yang sekarang tempat berdirinya STM Pansurnapitu dan Gereja HKBP Pansurnapitu.
Tahun 1877
  • Raja Sisingamangaraja ke-XII mengancam akan membumihanguskan kegiatan missioner, ancaman ini tidak menjadi kenyataan.
  • Silindung masuk kolonisasi Belanda.
Tahun 1880
Ingwer Ludwig Nommensen beserta istri dan anak-anaknya pergi ke Eropah. Mereka diantar oleh banyak orang sampai ke tengah hutan. Mereka berjalan kaki selama dua hari dari Silindung ke Sibolga, menjalani jalan setapak yang sangat sulit. Mereka menungu keberangkatan dari Sibolga ke Padang selama dua minggu.
Tahun 1881
Menjelang Natal, Ingwer Ludwig Nommensen kembali ke Pearaja. Dia kembali sendirian, isterinya tinggal di Jerman karena masih perlu perawatan. Anak-anaknya juga tinggal di sana agar bisa sekolah dengan baik.
Tahun 1881
Kongsi Barmen menetapkan Ingwer Ludwig Nommensen menjadi Ephorus pertama HKBP, dia digelari ‘Ompu i’
Tahun 1887
Karoline isteri Ingwer Ludwig Nommensen, meninggal di Jerman, sebulan kemudian baru Ingwer Ludwig Nommensen mengetahuinya.
Tahun 1890
Ingwer Ludwig Nommensen memulai misinya ke Toba, dia pindah ke Sigumpar.
Tahun 1891 bulan Mei
Christian, anak ompu Ingwer Ludwig Nommensen, mati terbunuh di Pinang Sori oleh lima orang kuli China di areal perkebunan.
Tahun 1892
Bersama Pendeta Johansen yang juga sudah menduda pergi ke Jerman untuk berlibur, menjenguk anak-anaknya, dan mencari pasangan baru untuk masing-masing misionar yang telah menduda. Ingwer Ludwig Nommensen mendapatkan jodohnya anak Tuan Harder yang bernama Christine, Johansen mendapatkan jodohnya anak Tuan Heinrich yang bernama Dora. Mereka kembali ke Tanah Batak dengan masing-masing pasangan barunya.
Tahun 1900 Permulaan Zending Batak.
Tahun 1903 Permulaan misi Zending ke Medan
Tahun 1904
Fakultas Theologi Universitas Bonn, Jerman, menganugerahkan gelar Doktor Honouris-Causa di bidang Theologi kepada Ingwer Ludwig Nommensen. Dalam pengukuhan tersebut, Ratu Wilhelmina dari Belanda ikut diundang sebagai tamu.
Tahun 1905
Berkunjung ke Eropah bersama Tuan Reitze, dia mengunjungi Misi Zending di Belanda dan berkunjung kepada Ratu Wilhelmina.
Tahun 1909
Christine Harder, isteri Ingwer Ludwig Nomensen meninggal dunia, setelah melahirkan tiga orang anak. Dia dimakamkan di Sigumpar. Dua anak perempuannya tinggal di Jerman dan belum menikah sewaktu Ompu Ingwer Ludwig Nommensen meningal pada umur 84 Tahun.
Tahun 1911
  • Pesta jubileum 50 tahun HKBP. Pesta besar di onan Sitahuru dihadiri puluhan ribu orang, di tempat dimana 47 tahun sebelumnya Ingwer Ludwig Nommensen mau dibunuh dan dipersembahkan kepada Sombaon Siatas Barita.
  • Ratu Wilhelmina dari belanda menganugerahkan Bintang Jasa ‘Order Of Orange Nassau’ kepada DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sebuah bintang jasa yang hanya diberikan kepada orang yang dianggap luar biasa jasanya di bidang kemanusiaan.
Tahun 1912
Berlibur ke Eropah, kembali ke Tanah Batak bersama tuan Pilgram yang telah lama bertugas di Balige.
Tahun 1916Nathanael anak Ingwer Ludwig Nommensen, mati tertembak di arena Perang Dunia I di Perancis.
Tahun 1918, Tanggal 23 Mei
Pukul enam pagi Hari Kamis, Ompu Ingwer Ludwig Nommensen pergi menghadap Tuhannya di Sorga. Dia menutup mata untuk selama-lamanya setelah berdoa ‘Tuhan kedalam tanganMu kuserahkan rohku, Amin’.

Pada Jumat sore, 24 Mei 1918
Ompu Ingwer Ludwig Nommensen dikubur di Sigumpar. Puluhan ribu datang melayatnya untuk mengucapkan salam perpisahan. Ada orang berkata : Inilah kumpulan manusia yang paling banyak yang pernah terjadi di Tanah Batak.
Ringkasan ini diambil dari buku:DR. I.L. Nommensen – Apostel di Tanah Batak oleh Patar M. Pasaribu

Senin, 11 Oktober 2010

biografi pramoedya

Nama:
Pramoedya Ananta Toer
Lahir:
Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925
Meninggal:
Jakarta, 30 April 2006
Isteri:
Maemunah Thamrin

Pendidikan:
SD Institut Boedi Oetomo (IBO), Blora
Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya
Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta
Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo
Taman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943
Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta

Pekerjaan:
Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944
Instruktur kelas stenografi di Domei
Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei
Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947
Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952
Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965
Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965
Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965

Prestasi dan Penghargaan
1951: First prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive)
1953: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora)
1964: Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales form Jakarta) - declined by writer
1978: Adopted member of the Netherland Center - During Buru exile
1982: Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia
1982: Honorary member of the P.E.N. Center, Sweden
1987: Honorary member of the P.E.N. American Center, USA
1988: Freedom to Write Award from P.E.N. America
1989: Deutschsweizeriches P.E.N member, Zentrum, Switzerland
1989: The Fund for Free Expression Award, New York, USA
1992: International P.E.N English Center Award, Great Britain
1995: Stichting Wertheim Award, Netherland
1995: Ramon Magsaysay Award, Philliphine
1995: Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated constantly since 1981.)
1999: Honorary Doctoral Degree from University of Michigan, Ann Arbor
2000: Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France.
2000: Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan.

Buku:
Fiksi:
Krandji-Bekasi Djatuh, 1947
Perburuan, 1950
Keluarga Gerilya, 1950
Subuh, 1950
Pertjikan Revolusi, 1950
Mereka Jang Dilumpuhkan (Bag 1 dan 2), 1951
Bukan Pasar Malam, 1951
Di Tepi Kali Bekasi, 1951
Dia Yang Menyerah, 1951
Tjerita Dari Blora, 1952
Gulat di Djakarta, 1953
Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954
Korupsi, 1954
Tjerita Tjalon Arang, 1957
Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958
Tjerita Dari Djakarta, 1957
Bumi Manusia - HM, 1980
Anak Semua Bangsa - HM,1980
Tempo Doeloe, (ed.) - HM, 1982
Jejak Langkah - HM, 1985
Gadis Pantai - HM,1987
Hikayat Siti Mariah, (ed.) - HM,1987
Rumah Kaca - HM, 1988
Arus Balik - HM, 1995
Arok Dedes - HM, 1999
Mangir - KPG, 1999
Larasati: Sebuah Roman Revolusi - HM, 2000
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer - KPG, 2001
Cerita Dari Digul - KPG, 2001

Non-Fiksi:
Hoakiau di Indonesia, 1960
Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962
Sang Pemula – HM, 1985, biografi Tirto Adhi Soerjo
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) - HM, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Lentera, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, Lentera, 1997
Kronik Revolusi Indonesia, Bag 1,2,3. 1 & 2: KPG, 1999 - 3: KPG, 2001

Karya Terjemahan ke Bahasa Indonesia
Lode Zielens, Bunda, Mengapa Kami Hidup? (Moeder, waarom leven wij?), 1947
Frits van Raalte, 1946
J.Veth, 1943
John Steinbeck, Tikus dan Manusia (Of Mice and Men), 1950
Leo Tolstoi, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu (Return to Your Love and Affection), 1951
Leo Tolstoi, Perdjalanan Ziarah jang Aneh (Strange Pilgrimage), 1954
Mikhail Sholokhov, Kisah Seorang Pradjurit Sovjet (The Fate of a Man), 1956
Maxim Gorki, Ibunda (Mother), 1958
Ho Ching-chih & Ting Yi, Dewi Uban (The White-haired Girl), 1958
Alexander Kuprin, Asmara dari Russia (Love from Russia), 1959
Boris Polewoi, Kisah Manusia Sejati (A Story about a Real Man)
Blaise Pascal, Buah Renungan (Pensees)
Kristoferus
Albert Schweitzer

Cerita Pendek
Karena korek api. Minggoe Merdeka, 6.1, (1947): 6.
Kemana?? Pantja Raja, 5.2, (47): 141-2.
Si Pandir. Pantja Raja, 11-12.2, (47): 405-7.
Kawanku sesel. Mimbar Indonesia, 40.3, (49): 17-19.
Kemelut. Mimbar Indonesia, 14.3, (49): 17-8, 22.
Lemari antik. Mimbar Indonesia, 43-44.3, (49): 18-9.
Masa. Mimbar Indonesia, 39.3, (49): 17-20.
Anak haram. Daya, 5-6.2, (50): 98-101.
Antara laut dan keringat. Siasat, 164, 165.4, (50): 8; 6.
Blora. Indonesia, 1.2, (50): 53-64.
Bukan pasar malam. Indonesia, 6.1, (50): 23-55.
Cahaya telah padam. Siasat, 179-180.4, (50): 18-9.
Demam. Mimbar Indonesia, 32.4, (50): 26-29.
Dia yang menyerah. Poedjangga Baroe, 11-12.11, (50): 245-286.
Fajar merah. Gema Suasana, 1.3, (50): 81-96.
Hadiah kawin. Spektra, 42.1; 1.2, 3.2, (50): 27-31; 27-30; 27-30.
Hidup yang tak diharapkan. Siasat, 188 sd 193.4, (50): passim.
Inem. Mimbar Indonesia, 15.4, (50): 19-20.
Jongos + babu. Mimbar Indonesia, 2, 3.4, (50): 17-8; 17-8.
Keluarga yang ajaib. Gema Suasana, 5.3, (50): 440-8.
Kenang-kenangan pada kawan. Mimbar Indonesia, 9.4, (50): 20-1.
Lemari buku. Mimbar Indonesia, 48.4, (50): 20-1.
Mencari anak hilang. Daya, 2.2, (50): 42-4, 48.
Pelarian yang tak dicari. Mutiara, 16.2, (50): 10-1, 14-9.
Sebuah surat. Spektra, 14.2, (50): 25-30.
Berita dari Kebayoran. Mimbar Indonesia, 11.5, (51): 20-1, 26.
Idulfitri mendapat ilham. Indonesia, 6.2, (51): 17-29.
Kemudian lahirlah dia. Mimbar Indonesia, 8, 9.5, (51): 20-2; 20-2.
Yang sudah hilang. Zenith, 2.1, (51): 112-128.
Kampungku. Mimbar Indonesia, 30.6, (52): 20-1, 24, 26.
Sepku. Waktu, 5.6, (52): 7-8.
Kapal gersang. Zenith, 9.3, (53): 550-6.
Keguguran calon dramawan. Zenith, 11.3, (53): 659-71.
Tentang emansipasi buaya. Zenith, 12.3, (53): 722-30.
Kalil, si opas kantor. Kisah, 3.2, (54): 85-90.
Korupsi. Indonesia, 4.5, (54): 165-245.
Perjalanan. Mimbar Indonesia, 13.8, (54): 20-3.
Suatu pojok di suatu dunia. Prosa, 1.1, (55): 5-7.
Arya Damar. Star Weekly, 551.11, (56): 18-9.
Biangkeladi. Roman, 6.3, (56): 16-8.
Darah Pajajaran. Star Weekly, 546.11, (56): 26-7.
Djaka Tarub. Star Weekly, 562.11, (56): 15-6.
Gambir. Aneka, 3,4,5.7, (56): 12-3; 12-3, 20; 12-3, 19.
Jalan yang amat panjang. Kisah, 7-8.4, (56): 13-5.
Kecapi. Kisah, 2.4, (56): 4-5.
Kesempatan yang kesekian. Zaman baru, 5, (56): 13-8.
Ki Ageng Pengging. Star Weekly, 570.11, (56): 26-7.
Lembaga. Roman, 5.3, (56): 7-8.
Makhluk di belakang rumah. Kontjo, 5.2, (56): 20-1, 33.
Mbah Ronggo dan setan-setannya. Star Weekly, 541.11, (56): 26-8.
Nyonya dokter hewan Suharko. Roman, 9.3, (56): 4-6.
Pelukis Purbangkara. Star Weekly, 549.11, (56): 26-7.
Raden Patah dan Raden Husen. Star Weekly, 555, 556.11, (56): 38-41; 25-7.
Sekali di bulan purnama. Roman, 7.3, (56): 12-4.
Suatu kerajaan yang runtuh karena rajukan permaisuri. Star Weekly, 544.11, (56): 26-7, 35.
Sunyi-senyap di siang hidup. Indonesia, 6.7, (56): 255-268.
Tanpa kemudian. Roman, 3.3, (56): 6-7, 11.
"Djakarta," Almanak Seni 1957, Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1956.
Kasimun yang seorang. Roman, 8.4, (57): 8-10.
Keluarga Mbah Lono Jangkung. Roman, 12.4, (57): 22-6, 42.
Shamrock Hotel 315. Roman, 10.4, (57): 5-6.
Yang cantik dan yang sakit. Pantjawarna, 120.9, (57): 16-7.
Dia yang tidak muncul. Star Weekly, 659.13, (58): 7-9.
Yang pesta dan yang tewas. Zaman Baru, 21-22, (58): 6.
Paman Martil. Jang Tak Terpadamkan (kumpulan tjerita pendek) menjambut ulang tahun ke-45 PKI. Pg. 5-27

Puisi
Antara kita. Siasat, 103.2, (49): 9.
Anak tumpah darah. Indonesia, 12.2, (51): 20.
Kutukan diri. Indonesia,

biografi kunto wijoyo

Nama:
Prof Dr Kuntowijoyo
Lahir:
Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943
Meninggal:
Yogyakarta, 22 Februari 2005
Agama:
Islam
Isteri:
Drs Susilaningsih MA (Menikah 8 November 1969)
Anak:
- Ir Punang Amaripuja SE MSc
- Alun Paradipta

Pendidikan:
- SRN, Klaten (1956)
- SMPN, Klaten (1959)
- SMAN, Surakarta (1962)
- S1 (Sarjana) Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta (1969)
- S2 (MA) Universisity of Connecticut, AS (1974)
- S3 (Doktor) Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980)

Karir:
- Asisten Dosen Fakultas Sastra UGM (1965-1970)
- Dosen Fakultas Sastra UGM (1970-2005)

Kegiatan Lain:
- Sekretaris Lembaga Seni & Kebudayaan Islam (1963-1969)
- Ketua Studi Grup Mantika (1969-1971)
- Pendiri Pondok Pesantren Budi Mulia (1980)
- Pendiri Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta (1980)

Karya, al:
- Khotbah Di Atas Bukit, Pustaka Jaya (1976)
- Isyarat, Pustaka Jaya (1976)
- Suluk Awang-Uwong, Budaya Jaya (1975)
- Kumpulan puisi Daun Makrifat Makrifat Daun (1995)
- Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Shalahuddin Press, 1985
- Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru
- Identitas Politik Umat Islam
- Esai-Esai Budaya dan Politik 2002
- Demokrasi dan Budaya (1994)
- Pengantar Ilmu Sejarah (1995)
- Metodologi Sejarah (1994)
- Radikalisme Petani (1993)

Penghargaan:
- Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995)
- Satyalencana Kebudayaan RI (1997)
- ASEAN Award on Culture and Information (1997)
- Mizan Award (1998)
- Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999)
- FEA Right Award Thailand (1999)
- Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, cerpen terbaik versi Harian Kompas berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997
- Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra.
- Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972
- Naskah drama Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.
- Hadiah Sastra dari Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001)

Alamat Rumah:
Jalan Ampelgading 429 Perumnas UGM Condongcatur, Sleman, Yogyakarta